TASAWUF FALSAFAH IBNU ‘ARABI dan AL-JILLI
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Terstruktur Mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu : Drs.
Hajam M.Ag
Disusun Oleh:
Moh. Fajrul Falach Maulidi / 1413363048
Ahmad Fauzan /
1413363063
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS
ADAB DAKWAH DAN USHULUDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf
falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal
dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad keenam hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian.
Sejak saat itu, tasawuf jenis ini hidup dan berkembang, terutama di kalangan
para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan
antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabkan
ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di
luar Islam, seperti yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi,
orisinalitasnya sebagai tetap tidak hilang.
Meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda
dan beraneka ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu
itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka,
terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini
dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita bahwa para tokoh tasawuf jenis
ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar
Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan
terminologi-terminologi filsafat, tetapi tetap menyesuaikan maknanya dengan
ajaran tasawuf yang mereka anut. Para sufi yang juga filosof pendiri
aliran tasawuf ini mengenal dengan filsafat Yunani serta berbagai alirannya,
seperti Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo-Platonisme
dengan filsafatnya tentang emanasi.
Di antara tokoh-tokoh
tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in dan Ibn Masarrah.
Tetapi penulis hanya membahas tentang tasawuf falsafi Ibn Arabi dan Al-Jilli.
PEMBAHASAN
A. IBN ARABI
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah
Ath-Tha’I Al-Haitami dan ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad
dan Abu Abdullah namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu Arabi muhyiddin dan
al-Hatami. Ia lahir di Murcia, Andalucia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari
keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Dan wafat pada 638 H di Damaskus,
makamnya terletak di bawah gunung Qayisun di Syiria. Namanya biasa disebut
tanpa “Al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari
Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an,
hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni
Ibn Hazm Al-Zhahiri.
Setelah Ibnu Arabi melewati hidupnya di Murcia, ia bersama orang tuanya
pindah ke Sevilla di mana di kota ini ia tumbuh dan berkembang dengan
memasuki alam pendidikan sebagaimana lazimnya. Setelah dirasakan cukup menuntut
ilmu di kota ini, ia pindah ke Cordova melanjutkan pelajaran yang lebih
tinggi dan lebih luas. Ia mempelajari Ilmu Fiqh, Tafsir, Hadits dan lain-lain
dengan lancar dan berhasil karena kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya
serta dukungan dari orang tuanya yang dapat diandalkan. Guru-gurunya cukup
banyak, di antaranya Syekh Abu Madian. Pada usia yang relatif muda, ia bertemu
dengan dua wanita sufi terkemuka yaitu Yasmin Mursyaiyah dan Fatimah
Qurthubiyah. Pertemuannya dengan kedua sufi wanita itu amat berpengaruh dalam
dirinya dan secara tidak langsung memberi arah kepada perjalanan hidupnya.
Khususnya dengan Fatimah dari Cordova itu, seorang tua dengan Ilmu yang luas
dalam kerohanian, telah mengajar dan membimbing kerohanian Ibnu Arabi selama
tidak kurang dari dua tahun. Ibnu Arabi yang masih muda telah memperoleh Ilmu
dan berkecenderungan ke arah kerohanian.
Atas dorongan ayahnya, ia bertemu dengan filosof Islam yang besar
Ibnu Rusydi. Setelah ia berkali-kali bertemu dengan Ibnu Rusydi dan setiap kali
pertemuan itu menunjukkan perhatian dan keakraban yang luar biasa dari
masing-masing dan selalu terjadi tukar pendapat. Masa berikutnya, Ibnu Arabi melanglang
ke berbagai negeri Islam di Andalusia dan Afrika Utara, untuk bertemu dengan
para sufi dan filosof, belajar dan membutiri hikmah-hikmah mereka. Di Tunisia
ia bertemu dengan kitab Ibnu Qasyim yang berjudul Khal’un Na’laini (kata-kata
dalam ayat 12 surat Thaaha) dan berkesempatan mempelajari dan mensyarahkannya.
Ia juga berkesempatan mengunjungi perguruan al-Mariyah di bawah pimpinan Ibnu
Masarrah dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Arief. Dalam perenungan-perenungan
di madrasah ini ia memastikan untuk memasuki alam tasawuf.
Sejak itu perkembangan
tasawuf dalam diri Ibnu Arabi berkembang pesat dan makrifah kesufian bertambah
luas. Konon, pada masa ini ia bermimpi melihat arasy berdiri menjulang di atas
cahaya-cahaya yang di atasnya terbang seekor burung yang menyeru Ibnu Arabi
agar meninggalkan tanah kelahirannya melanglang lagi menuju ke negeri-negeri
Timur. Menuruti ilham itu ia memulai mengunjungi negeri-negeri Timur dengan
melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu. Kemudian ia berangkat ke Mesir, Anatholia,
Irak dan kemudian ke Syria.
Dalam pengembaraan itu, ketika ia berada di Mekkah, turun ilham kepadanya
untuk menulis berbagai pengalaman sufi yang dialaminya dalam kitab
basarnya Futuhat al-Makkiyah. Konon, setelah itu ia bertemu
dengan seorang wanita cantik yang juga seorang sufi dari keluarga sufi Isfahan
yang banyak member ilham kepada Ibnu Arabi. Dan dari wanita cantik inilah
menimbulkan ilhamnya dalam kecintaan yang amat sangat kepada Tuhan Yang Maha
Indah dan dari cinta kepada Tuhan itu lahirlah tulisannya Tarjuman
al-Asywaq.
1. Karya-karya Ibnu Arabi
Meskipun ia selalu hidup
dalam pengembaraan, berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya, namun
tulisan-tulisannya tetap meluncur hingga sampai akhir hayatnya ia menulis lebih
dari 200 buah kitab. Di antara kitab-kitabnya yang besar dan terkenal adalah:
a. Futuhat al-makkiyah
b. Tarjuman al-Asywaq
c. Fushushul Hikam.
Menurut Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah adalah dikte dari Allah, sedangkan
Fushush al-Hikam adalah pemberian dari Rasulullah. Kalau kita kaji lebih jauh
dalam Fushush al-Hikam, maka tampak bahwa teori tasawuf Ibnu Arabi bermula dari
Allah dan kemudian dihubungkan dengan wujud alam semesta.
2. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn Arabi
adalah tentang Wahdat Al-Wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah
wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah
berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras
dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Setidak-tidaknya,
Ibnu Taimiyahlah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke
tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang
sepakat menggunakaan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn
Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-Wujud
Menurut Ibnu Taimiyah,
wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang
yang mempunyai paham Wahdat Al-wujud mengatakan wujud itu sesungguhnya hanya
satu dan Wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga Mukmin Al-wujud
yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham Wahdat
Al-Wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak
ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Dari pengertian tersebut, Ibnu Taimiyah menilai bahwa ajaran sentral Ibnu
Arabi itu adalah dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk)
saja. Ia belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Padahal
kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibnu Arabi. Akan tetapi, perlu disadari
bahwa kata-kata Ibnu Arabi sendiri banyak yang memiliki pengertian seperti yang
dipahami oleh Ibnu Taimiyah meskipun ada pula kata-kata Ibnu Arabi yang
membedakan antara Khaliq dengan makhluk dan
antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibnu Arabi,
wujud semua yang ada ini hanyalah satu pada hakikatnya wujud makhluk adalah
wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk)
dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq
dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang
terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari
kesatuan dzatiah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.
Menurut Ibnu Arabi,
wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam.
Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud
yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah)
dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah
satu. Perbedaan itu hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu. Kalau
antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Menurut
Ibnu Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang
keduanya bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi
yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya
adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya,
yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubung dengan ini,
Ibnu Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut :
“pada satu sisi,
Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia
bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang
menangkap apa yang aku katakana, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan
dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan
(bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang
banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”
Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah
juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah
barat disebut panteisme atau yang didefinisikan Henry C.
Theissen seperti berikut ini :
“Panteisme adalah
teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek
modifikasi atau begian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia
memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya,
semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di
antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik, dan teistik”
Ringkasnya dalam tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan
Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu
dengan Tuhan. Oleh sebab itu ada orang yang menyebut filsafat Ibnu Arabi ini
panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengan faham Wahdat Al-Wujud.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam
serta antara wujud Tuhan bersatu dan wujud alam, pemahaman Ibnu Taimiyah
tentang wahdat Al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian, perlu pula diingat
bahwa apabila Ibnu Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak,
yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud, menurut Ibnu Arabi adlah wujud Tuhan,
tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa
alam maupun yang ada di dalam alam, tidaklah memiliki wujud. Kesimpilannya,
kata ‘wujud’ tidak diberikan kepada selain Tuhan. Pada kenyataannya, Ibnu Arabi
juga menggunakan kata ‘wujud’ untuk sesuatu selain Tuhan. Namun, ia mengatakan
bahwa wujud sedangkan wujud yang ada pada alam adalah wujud Tuhan yang
dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelaskan perkataannya itu, Ibnu Arabi
memberikan contoh bahwa cahaya adalah milik matahari, namun cahaya itu
dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Wujud semesta ini bagi
Ibnu Arabi adalah satu jua, dan apabila kita melihat dengan bermacam-macam
dalam jumlah yang tidak terhitung, maka hal itu adalah karena kita menggunakan
acuan-acuan indera dan akal semata-mata. Akal dan indera menangkap kesemestaan
itu dalam bentuk bermacam-macam dan car aini digunakan oleh kalangan
intelektual dan filosof. Sedangkan bagi kalangan sufi yang menangkap segala
wujud dengan zauq sufi akan memandang kesemestaan ini sebagai keberadaan
tunggal, al-Haq dan al-Khalq adalah satu belaka.
Apabila ahli kalam menyebut al-jauhar dan al-‘aradh, maka Ibnu Arabi
menyebutnya dengan al-Haq dan al-Khalq. Dalam rangka inilah ia menulis, “Maha
Suci Tuhan yang Dia menjadikan segala sesuatu dan Dia-lah ain segala sesuatu
itu”.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh Khalik (Tuhan)
dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebab dari segala yang berwujud selain
Tuhan. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki,
sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di
luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Jadi, makhluk atau alam yang diciptakan tidak
mempunyai wujud karena yang mempunyai wujud (yaitu wujud mutlak) hanyalah
Tuhan. Dengan demikian, wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan
sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram
dan juga seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk
memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam mini merupakan mazhar (penampakan)
dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya
itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an
(kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Selain itu, Ibnu Arabi
menjelaskan bahwa terjadinya ala mini tidak dapat dipisahkan dari ajaran
Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian
proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak
berhajat pada apapun.
b. Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud
Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud dengan proses tahapan-tatahapannya.
Dengan demikan, Ibnu Arabi menolak ajaran yang menyatakan bahwa alam semesta
ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan
merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah
dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam
sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya,
kalangan para wali, dan insan kamil.
B. AL-JILLI
Nama lengkap tokoh ini
ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn
Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syeikh” yang biasa dipakai di
awal namanya. Selain itu juga ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama),
suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767
H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia
adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari
cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili
di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga
keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli.
Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin
Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota
inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya,
ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh
Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman
seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w.821).
Pada tahun 790 H ia
berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Karena kesetabilan
kota India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di
India berkembang dengan pesat. Namun sebelum perjalanannya ke India ia berhenti
di Persia dan belajar bahasa Persia, sehingga ia pun dapat menyelesaikan satu
buah buku dengan judul, Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif di
kota ini (Persia). Empat tahun kemudian (803 H) ia pun berkunjung ke kota
Kairo dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak
para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan
bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud
al-Istima. Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah,
Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah.
Namun setelah dua tahun kemudian, kurang lebih, ia kembali lagi ke kota Zabid,
Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti), di kota Zabid lah ia
menghabiskan hidupnya sampai akhir hayat.
1. Karya-karyanya
Karya-karya al-Jilli
sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti, namun
terdapat tiga tokoh pemikir yang melakukan penelitian mengenai karya-karya
al-Jilli dan ternyata hasil dari ketiga peneliti itu membuktikan bahwa masing-masing
mereka saling melengkapi. Penelitian pertama dilakukan oleh Haji Khalifah, ia
mencatat bahwa al-Jilli telah menulis 6 (enam) judul karya tulis. Sedangkan
peneliti kedua adalah Ismail Pasya al-Bagdadi, ia menambahkan 5 (lima) karya
al-Jilli dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dan yang lebih banyak
penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah
Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya
al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari
penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih
mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
a. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail
Buku ini adalah bukunya
yang paling poluler, dan buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan
kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
b. Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah
Buku ini merupakan
antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
c. Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim
Buku ini merupakan
kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir
sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya
menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat
al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat
al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan
lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.
d. Lawami’ al-Barq
e. Maratib al-Wujud
Buku ini menjelaskan
tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
f. Al-Namus al-Aqdam
Buku ini terdiri dari 40
juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai
judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini
tidak ditemukan lagi.
2. Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli
yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli,
Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits :
Yang artinya: “Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman.”
Dalam Hadits lain juga
disebutkan bahwa “Allah menciptakan Adam, dalam bentuk diri-Nya.”
Seorang manusia yang
menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan
manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara
sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan
Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan
al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya
saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata
nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari
suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa
itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum
biasanya berarti manusia.
Kata kedua, kamil, yang
artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat
tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang
mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan
kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil
menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain
yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil
(sempurna).
3. Akar Konsep Insan Kamil al-Jilli
Konsep Insan Kamil dengan sangat jelas merupakan perpanjangan dari
konstruksi pemikiran dari sebuah penghayatan, yang dikemukakan oleh para sufi
cerdas. Hal ini bisa dilihat secara historis dalam literatur pemikiran Islam di
sekitar awal abad ke-7 H/13 M, dengan munculnya karya agung Ibn ‘Arabi (w.
638 H/1240 M) al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam.
Walaupun orang pertama
yang membuka jalan bagi munculnya konsepsi manusia seutuhnya adalah Husain Ibn
Mansur al-Hallaj seorang tokoh sufi Bagdad (244-309 H/858-922 M), dengan
mengemukakan konsepsi nur Muhammad dan al-hulul, yaitu konsep yang mengatakan
bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh orang tertentu untuk tempatnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan orang itu dihilangkan. Dengan ajaran hulul itu
al-Hallaj mengatakan bahwa di dalam diri Tuhan terdapat sifat-sifat kemanusiaan
yang dinamakan nasut, dan dalam manusia terdapat sifat ketuhanan yang dinamakan
lasut. Ajaran hulul ini mendapat bentuk yang lebih sempurna setelah datang
seorang sufi yang bernama Ibn ‘Arabi, merekonstruksi dan mengembangkan ajaran
hulul al-Hallaj menjadi wahdatul al-wujud. Contoh kecil dari perubahan itu
adalah perubahan istilah lahut al-Hallaj dia tukar dengan sitilah al-haq
dan nasut dia tukar dengan al-khalq.
Dan keduanya ini
mempunyai hakikat yang satu, dimana yang dzahirnya adalah al-khalaq (makhluk),
dan yang bathinnya adalah al-haq (Tuhan). Al-haq ini akan ber-tajjali pada
al-khalq yang paling tinggi citra wujudnya, dan kesempurnaan tajjali ini akan
terwujud pada manusia yang paling sempurna citra wujudnya. Selanjutnya istilah
insan kamil ini digunakan oleh seorang sufi besar dengan nama Abd al-Karim Ibn
Ibrahim al-Jilli (767-826 H/1365-1422), untuk mengidentifikasi konsepsinya
mengenai manusia sempurna.
Dan sebetulnya konsepsi
al-Jilli, mengenai Insan Kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus konsep
Ibn ‘Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan
mensistematisasi konsep insan kamil Ibn ‘Arabi yang telah ada dengan
pengembangan yang lebih jauh mengenai konsep insan kamil Ibn ‘Arabi.
Selain paham di atas,
ada lagi yang berpendapat bahwa konsep manusia sempurna ini berasal dari paham
Neo-Platonisme, hal ini diperjelas oleh Rasyidi sebagai berikut:
“Hakekat Muhammad atau
Nur Muhammad adalah suatu hasil dari meresapnya Neo-Platonisme. Menurut paham
Neo-Platonisme ada tiga hal: pertama, The One atau The God atau The First
Principle; kedua, The Devine Mind atau nous; dan yang ketiga, adalah soul. Dari
yang pertama memancarlah yang kedua, yang merupakan the world of form (alam
misal), dan dari alam misal memancarlah alam materi ini. Hubungan antara alam
materi dan the devine mind dinamakan soul. Pancaran dari Tuhan tanpa ada
kehendak dari Tuhan, dan hal ini terjadi secara otomatis”.
Menurut konsepsi Nur
Muhammad ini Tuhan menciptakan Nur Muhammad, baru setelah itu segala yang diciptakan
memancar dari yang Esa. Jika dibandingkan dengan teori Neo-Platonisme Tuhan
menancar yang disebut logos. Logos dengan kekuatannya memancar roh yang
merupakan kesatuan roh-roh. Sejalan logos dalam Neo-Platonisme dan Nur Muhammad
sama berfungsinya sebagai perantara dalam penciptaan.
Al-Jilli berpendapat
bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai
suatu kemestian yang inheren dan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama
tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insane kamil. Lebih
lanjut, Al-Jilli mengemukakan bahwa pwrumpamaan hubungan Tuhan dengan insan
kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali
melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insane kamil, ia tidak dapat melihat
dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan sebaimana Tuhan tidak dapat melihat
diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat :
Artinya:
“sesugguhnya kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab: 72)
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan
Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2004.
Ichang , Insan Kamil ‘Abd al Karim al Jilli, available:
ichang.org, diakses tanggal 2 Juni 2009.
Mansur, Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2002.
Mustofa, Akhlak
Tasawuf.Bandung : CV Pustaka Setia, 2007.
No comments:
Post a Comment
Kami membutuhkan saran dan kritik anda, dan juga jika didalam postingan ada kata-kata yang tidak anda fahami dan kata-kata yang salah mohon beritahukan kepada admin agar kita dapat memperbaikinya