Monday 3 March 2014

Makalah Landasan BKI


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
         Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan Yang Maha Esa paling sempurna diantara makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna karena manusia mempunyai akal pikiran, sehingga manusia dapat menggunakan akal pikirannya untuk bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dimasyarakat serta mampu berkomitmen dengan nilai-nilai yang ada. Selain memiliki akal pikiran manusia juga memiliki jiwa dan roh yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa dan roh tersebut melekat pada tubuh (raga) manusia.
Beck (1974) mengemukakan pendapat bahwa manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri. Dia punya pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah
         Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa hakikat manusia menurut pandangan BK ? 

BAB II
PEMBAHASAN


A. Hakikat Manusia
         Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan Yang Maha Esa paling sempurna diantara makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dikarenakan manusia mempunyai akal pikiran, sehingga manusia dapat menggunakan akal pikirannya untuk bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dimasyarakat serta mampu berkomitmen dengan nilai-nilai yang ada. Selain memiliki akal pikiran manusia juga memiliki jiwa dan roh yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa dan roh tersebut melekat pada tubuh (raga) manusia. Dengan adanya komponen tersebut, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial dan budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.
Karena manusia sebagai makhluk sosial, dari proses sosial maka manusia memperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya. Dapat diklasifikasikan dalam tiga komponen, yaitu:

1. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
2. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui oleh manusia.
3. Komponen konatif adalah aspek yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak

         Disisi lain, manusia selalu identik dengan dirinya sendiri, meskipun mengalami perubahan didalam ukuran dan bentuk, perubahan dalam cara berpikir, merasa, bersikap, cita-cita, perkembangan dalam pergaulan, peranan yang dimainkan dan linkungan sosial. Didalam diri manusia terdapat kesatuan (unitas) dan sekaligus keberagaman (kompleksitas) yang tidak bisa disangkal kebenarannya. 

a. Manusia sebagai Makhluk Tuhan YME
         Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta - adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama didasarkan atas keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta. Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argumen berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (2008), yaitu sebagai berikut:
1) Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”. 
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya, melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan.

b. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Ruh
         Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran Materialisme bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai resonansi dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Sebaliknya, menurut Plato, salah seorang penganut aliran Idealisme, bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/rohaniah. Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Contoh: Pada saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan tidak makan, sekalipun kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).
         Rene Descartes mengemukakan pandangan lain yang secara tegas bersifat dualistik. Menurut Descartes esensi manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa), maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957). Namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristi badaniah, atau sebaliknya. Contoh: apabila jiwa seseorang sedih, maka secara paralel badannya pun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Butler, 1968).
         Semua pandangan di atas dibantah oleh E.F. Schumacher (1980). Menurut Schumacher manusia adalah kesatuan dari yang bersifat badani dan rohani yang secara prinsipal berbeda daripada benda, tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan: “meski manusia merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral”. Sebagai kesatuan badani-rohani manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai kebutuhan, instink, nafsu, serta mempunyai tujuan. Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas/ personalitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historisitas, berinteraksi/berkomunikasi, dan memiliki dinamika.

c. Individualitas/personalitas
         Dari uraian di atas telah Anda pahami bahwa manusia bukan hanya badannya, bukan pula hanya rohnya. Manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya, dst. Dalam kehidupan sehari-hari Anda pun menyaksikan adanya perbedaan pada setiap orang, sehingga masing-masing bersifat unik. Perbedaan ini berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat, hobi, cita-citanya, dsb. Jika Anda bandingkan, manusia kembar siam sekalipun tidak memiliki kesamaan dalam keseluruhannya bukan? Selain itu, karena setiap manusia memiliki subjektivitas (kedirisendirian), maka ia hakikatnya adalah pribadi, ia adalah subjek. Sebagai pribadi atau subjek, setiap manusia bebas mengambil tindakan atas pilihan serta tanggung jawabnya sendiri (otonom) untuk menandaskan keberadaanya di dalam lingkungan. Dengan demikian dapat Anda simpulkan bahwa manusia adalah individu pribadi, artinya manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek yang otonom.

d. Sosialitas
         Sekalipun setiap manusia adalah individual/personal, tetapi ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak mungkin hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan hidup pula dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat), setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu, mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, namun demikian sekaligus ia pun mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987). Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: “manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa “dunia hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu” (Soerjanto P. dan K. Bertens,1983). Sebaliknya terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya.
          Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan tertentukan oleh individu-individu yang membangunnya (Iqbal, 1978). Karena setiap manusia adalah pribadi/individu, dan karena terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya, maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek yang oleh Martin Buber disebut hubungan I – Thou / Aku-Engkau (Maurice S. Friedman, 1954). Selain itu, hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.

e. Keberbudayaan
         Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, yaitu: 1) sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu pengetahuan, nilai-nilai, normanorma, peraturan-peraturan, dsb.; 2) sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, ia hidup berbudaya dan membudaya. Manusia menggunakan kebudayaan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya atau untuk mencapai berbagai tujuannya. Di samping itu kebudayaan menjadi milik manusia, menyatu dengan dirinya, ia hidup sesuai dengan kebudayaannya. Karena itu, kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, melainkan meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaannya. Di dalam kebudayaan dan dengan kebudayaan itu manusia menemukan dan mewujudkan diri. Berkenaan dengan ini Ernst Cassirer menegaskan: “Manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinyanya, seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya, kebudayaannya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia (C.A. Van Peursen, 1988). Dari uraian di atas kiranya Anda telah memahami bahwa kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian perlu dipahami pula bahwa apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkan dan/atau menggunakannya, maka kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Dalam perkembangannya yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis. Berkenaan dengan ini Martin Buber mengemukakan contoh keterhukuman manusia oleh karyanya sendiri: Manusia menciptakan mesin untuk melayani dirinya, tetapi akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Demikian pula dalam bidang ekonomi, semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi akhirnya manusia tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith, 1959).
    Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaruan kebudayaan. Hal ini tentu saja didukung oleh pengaruh kebudayaan masyarakat/bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat tertentu, serta dirangsang pula oleh tantangan yang datang dari lingkungan. Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan negatif dari kebudayaan terhadap manusia, masyarakat kadang-kadang terombang ambing diantara dua relasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (konservatif), sedang yang lain terdorong untuk menciptakan hal-hal baru (inovatif). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan inovasi. Hal ini meliputi semua kehidupan budaya (Ernest Cassirer, 1987).

f. Moralitas
         Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas. Manusia memiliki dimensi moralitas sebab ia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat. Adapun menurut Immanuel Kant disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Contoh: jika Anda meminjam buku milik teman, rasio praktis atau kata hati Anda menyatakan bahwa buku itu wajib dikembalikan. P.A. van der Weij, 1988). Sebagai subjek yang otonom (memiliki kebebasan) manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan/perbuatan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan untuk bertindak/berbuat itu selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih untuk bertindak/berbuat, maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya.

g. Keberagamaan
         Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang), maupun dalam rentang geografis dimana manusia berada. Seperti telah Anda pahami, manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui Utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertaqwa kepadaNya. Dalam keberagamaan ini manusia dapat merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang asal-usulnya, dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan menjadi jelas pula ke mana arah tujuan hidupnya.


h. Historisitas, Komunikasi/Interaksi dan Dinamika
            Berbagai dimensi eksistensi manusia sebagaimana telah diuraikan terdahulu mengimplikasikan bahwa eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, komunikasi/interaksi, dan dinamika.Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan oleh MI. Soelaeman (1985) dan Tatang Syaripudin (2008) dan Y. Suyitno (2008) Historisitas. Eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, artinya bahwa keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, ia mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Historisitas memiliki fungsi dalam eksistensi manusia. Historisitas turut membangun eksistensi manusia.
         Sehubungan dengan ini Karl Jaspers menyatakan: “Manusia harus tahu siapa dia tadinya, untuk menjadi sadar kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa lampaunya yang historis adalah faktor dasar yang tidak dapat dihindarkan bagi masa depannya” (Fuad Hasan, 1973). Manusia telah melampaui masa lalunya, adapun keberdaannya pada saat ini adalah sedang dalam perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Sejak kelahirannya, manusia memang adalah manusia, tetapi ia juga harus terus berjuang untuk hidup sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, ia “belum selesai” menjadi manusia, “belum selesai” mengaktualisasikan diri demi mencapai tujuan hidupnya.
          Tujuan hidup manusia mencakup tiga dimensi, yaitu (1) dimensi ruang (di sini - di sana, dunia - akhirat); (2) dimensi waktu (masa sekarang - masa datang); (3) dimensi nilai (baik - tidak baik) sesuai dengan agama dan budaya yang diakuinya (M.I. Soelaeman, 1988). Adapun esensi tujuan hidup manusia tiada lain untuk mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat, atau untuk mendapatkan ridlo Tuhan YME.
Komunikasi atau Interaksi. Dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, manusia berinteraksi/berkomunikasi. Komunikasi/interaksi ini dilakukannya baik secara vertikal, yaitu dengan Tuhannya; secara horizontal yaitu dengan alam dan sesama manusia serta budayanya; dan bahkan dengan “dirinya sendiri”. Demikianlah interaksi/komunikasi tersebut bersifat multi dimensi.
         Dinamika. N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesama dan dunia) maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Manusia adalah subjek, sebab itu ia dapat mengontrol dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah kesatuan jasmani-rohani (yang mana ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dsb., maka dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya. Terkadang muncul dorongan-dorongan negatif yang bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh negatif dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang muncul kesombongan yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang individualitasnya terlalu dominan atas sosialitasnya, dsb. Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara sengaja dan secara prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan arah yang seharusnya.

i. Eksistensi Manusia adalah untuk Menjadi Manusia
         Seperti telah dikemukakan di atas, manusia memiliki dimensi dinamika, sebab itu eksistensi manusia bersifat dinamis. Bagi manusia bereksistensi berarti meng-ada-kan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat dan menjadi. Permasalahannya, manusia itu bereksistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. Inilah tugas yang diembannya. Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Idealitas (keharusan, cita-cita/harapan) ini bersumber dari Tuhan melalui ajaran agama yang diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri. Coba Anda rumuskan, gambaran manusia ideal menurut Tuhan atau agama yang Anda yakini; manusia ideal menurut masyarakat/bangsa dan budayanya; dan manusia ideal menurut Anda sendiri!
         Manusia ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Hardono. (1996). Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Yusuf L. N, Syamsu dan Nurihsan, A. J (2008). Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT  
Remaja Rosdakarya