Saturday 24 May 2014

Makalah Akhlak Tasawuf

TASAWUF FALSAFAH IBNU ‘ARABI dan AL-JILLI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu : Drs. Hajam M.Ag







Disusun Oleh:
Moh. Fajrul Falach Maulidi / 1413363048
Ahmad Fauzan / 1413363063




JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS ADAB DAKWAH DAN USHULUDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON

2014




PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tetap tidak hilang.
Meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita bahwa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi tetap menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.  Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan filsafat Yunani serta berbagai alirannya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo-Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi.
Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in dan Ibn Masarrah. Tetapi penulis hanya membahas tentang tasawuf falsafi Ibn Arabi dan Al-Jilli.



PEMBAHASAN

A.      IBN ARABI
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami dan ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad dan Abu Abdullah namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu Arabi muhyiddin dan al-Hatami. Ia lahir di Murcia, Andalucia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Dan wafat pada 638 H di Damaskus, makamnya terletak di bawah gunung Qayisun di Syiria. Namanya biasa disebut tanpa “Al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Al-Zhahiri.
Setelah Ibnu Arabi melewati hidupnya di Murcia, ia bersama orang tuanya pindah ke Sevilla di mana di kota ini ia tumbuh dan berkembang dengan memasuki alam pendidikan sebagaimana lazimnya. Setelah dirasakan cukup menuntut ilmu di kota ini, ia pindah ke Cordova melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Ia mempelajari Ilmu Fiqh, Tafsir, Hadits dan lain-lain dengan lancar dan berhasil karena kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya serta dukungan dari orang tuanya yang dapat diandalkan. Guru-gurunya cukup banyak, di antaranya Syekh Abu Madian. Pada usia yang relatif muda, ia bertemu dengan dua wanita sufi terkemuka yaitu Yasmin Mursyaiyah dan Fatimah Qurthubiyah. Pertemuannya dengan kedua sufi wanita itu amat berpengaruh dalam dirinya dan secara tidak langsung memberi arah kepada perjalanan hidupnya. Khususnya dengan Fatimah dari Cordova itu, seorang tua dengan Ilmu yang luas dalam kerohanian, telah mengajar dan membimbing kerohanian Ibnu Arabi selama tidak kurang dari dua tahun. Ibnu Arabi yang masih muda telah memperoleh Ilmu dan berkecenderungan ke arah kerohanian.
Atas dorongan  ayahnya, ia bertemu dengan filosof Islam yang besar Ibnu Rusydi. Setelah ia berkali-kali bertemu dengan Ibnu Rusydi dan setiap kali pertemuan itu menunjukkan perhatian dan keakraban yang luar biasa dari masing-masing dan selalu terjadi tukar pendapat. Masa berikutnya, Ibnu Arabi melanglang ke berbagai negeri Islam di Andalusia dan Afrika Utara, untuk bertemu dengan para sufi dan filosof, belajar dan membutiri hikmah-hikmah mereka. Di Tunisia ia bertemu dengan kitab Ibnu Qasyim yang berjudul Khal’un Na’laini (kata-kata dalam ayat 12 surat Thaaha) dan berkesempatan mempelajari dan mensyarahkannya. Ia juga berkesempatan mengunjungi perguruan al-Mariyah di bawah pimpinan Ibnu Masarrah dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Arief. Dalam perenungan-perenungan di madrasah ini ia memastikan untuk memasuki alam tasawuf.
Sejak itu perkembangan tasawuf dalam diri Ibnu Arabi berkembang pesat dan makrifah kesufian bertambah luas. Konon, pada masa ini ia bermimpi melihat arasy berdiri menjulang di atas cahaya-cahaya yang di atasnya terbang seekor burung yang menyeru Ibnu Arabi agar meninggalkan tanah kelahirannya melanglang lagi menuju ke negeri-negeri Timur. Menuruti ilham itu ia memulai mengunjungi negeri-negeri Timur dengan melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu. Kemudian ia berangkat ke Mesir, Anatholia, Irak dan kemudian ke Syria.
Dalam pengembaraan itu, ketika ia berada di Mekkah, turun ilham kepadanya untuk menulis berbagai pengalaman sufi yang dialaminya dalam kitab basarnya Futuhat al-Makkiyah. Konon, setelah itu ia bertemu dengan seorang wanita cantik yang juga seorang sufi dari keluarga sufi Isfahan yang banyak member ilham kepada Ibnu Arabi. Dan dari wanita cantik inilah menimbulkan ilhamnya dalam kecintaan yang amat sangat kepada Tuhan Yang Maha Indah dan dari cinta kepada Tuhan itu lahirlah tulisannya Tarjuman al-Asywaq.
1.      Karya-karya Ibnu Arabi
Meskipun ia selalu hidup dalam pengembaraan, berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya, namun tulisan-tulisannya tetap meluncur hingga sampai akhir hayatnya ia menulis lebih dari 200 buah kitab. Di antara kitab-kitabnya yang besar dan terkenal adalah:
a.    Futuhat al-makkiyah
b.    Tarjuman al-Asywaq
c.    Fushushul Hikam.
Menurut Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah adalah dikte dari Allah, sedangkan Fushush al-Hikam adalah pemberian dari Rasulullah. Kalau kita kaji lebih jauh dalam Fushush al-Hikam, maka tampak bahwa teori tasawuf Ibnu Arabi bermula dari Allah dan kemudian dihubungkan dengan wujud alam semesta.


2.    Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang Wahdat Al-Wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Setidak-tidaknya, Ibnu Taimiyahlah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakaan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-Wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham Wahdat Al-wujud mengatakan wujud itu sesungguhnya hanya satu dan Wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga Mukmin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham Wahdat Al-Wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Dari pengertian tersebut, Ibnu Taimiyah menilai bahwa ajaran sentral Ibnu Arabi itu adalah dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja. Ia belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Padahal kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibnu Arabi. Akan tetapi, perlu disadari bahwa kata-kata Ibnu Arabi sendiri banyak yang memiliki pengertian seperti yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah meskipun ada pula kata-kata Ibnu Arabi yang membedakan antara Khaliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.

Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu. Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Menurut Ibnu Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubung dengan ini, Ibnu Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut :
pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakana, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”
Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme atau yang didefinisikan Henry C. Theissen seperti berikut ini :
Panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau begian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik, dan teistik”
Ringkasnya dalam tasawuf  Ibnu Arabi yang bersatu  dengan  Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan. Oleh sebab itu ada orang yang menyebut filsafat Ibnu Arabi ini panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengan faham Wahdat Al-Wujud.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam serta antara wujud Tuhan bersatu dan wujud alam, pemahaman Ibnu Taimiyah tentang wahdat Al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian, perlu pula diingat bahwa apabila Ibnu Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud, menurut Ibnu Arabi adlah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun yang ada di dalam alam, tidaklah memiliki wujud. Kesimpilannya, kata ‘wujud’ tidak diberikan kepada selain Tuhan. Pada kenyataannya, Ibnu Arabi juga menggunakan kata ‘wujud’ untuk sesuatu selain Tuhan. Namun, ia mengatakan bahwa wujud sedangkan wujud yang ada pada alam adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelaskan perkataannya itu, Ibnu Arabi memberikan contoh bahwa cahaya adalah milik matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Wujud semesta ini bagi Ibnu Arabi adalah satu jua, dan apabila kita melihat dengan bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terhitung, maka hal itu adalah karena kita menggunakan acuan-acuan indera dan akal semata-mata. Akal dan indera menangkap kesemestaan itu dalam bentuk bermacam-macam dan car aini digunakan oleh kalangan intelektual dan filosof. Sedangkan bagi kalangan sufi yang menangkap segala wujud dengan zauq sufi akan memandang kesemestaan ini sebagai keberadaan tunggal, al-Haq dan al-Khalq adalah satu belaka.
Apabila ahli kalam menyebut al-jauhar dan al-‘aradh, maka Ibnu Arabi menyebutnya dengan al-Haq dan al-Khalq. Dalam rangka inilah ia menulis, “Maha Suci Tuhan yang Dia menjadikan segala sesuatu dan Dia-lah ain segala sesuatu itu”.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh Khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Jadi, makhluk atau alam yang diciptakan tidak mempunyai wujud karena yang mempunyai wujud (yaitu wujud mutlak) hanyalah Tuhan. Dengan demikian, wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan juga seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam mini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Selain itu, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya ala mini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.     Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada apapun.
b.    Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud dengan proses tahapan-tatahapannya.
Dengan demikan, Ibnu Arabi menolak ajaran yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil.


B.       AL-JILLI
Nama lengkap tokoh ini ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syeikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu juga ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w.821).
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Karena kesetabilan kota India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di India berkembang dengan pesat. Namun sebelum perjalanannya ke India ia berhenti di Persia dan belajar bahasa Persia, sehingga ia pun dapat menyelesaikan satu buah buku dengan judul, Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif di kota ini (Persia). Empat tahun  kemudian (803 H) ia pun berkunjung ke kota Kairo dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima. Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah dua tahun kemudian, kurang lebih, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti), di kota Zabid lah ia menghabiskan hidupnya sampai akhir hayat.

1.    Karya-karyanya
Karya-karya al-Jilli sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti, namun terdapat tiga tokoh pemikir yang melakukan penelitian mengenai karya-karya al-Jilli dan ternyata hasil dari ketiga peneliti itu membuktikan bahwa masing-masing mereka saling melengkapi. Penelitian pertama dilakukan oleh Haji Khalifah, ia mencatat bahwa al-Jilli telah menulis 6 (enam) judul karya tulis. Sedangkan peneliti kedua adalah Ismail Pasya al-Bagdadi, ia menambahkan 5 (lima) karya al-Jilli dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dan yang lebih banyak penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
a.    Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail
Buku ini adalah bukunya yang paling poluler, dan buku ini  mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
b.    Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah
Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
c.    Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim
Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.
d.    Lawami’ al-Barq
e.    Maratib al-Wujud
Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
f.      Al-Namus al-Aqdam
Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.

2.    Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits :
Yang artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman.”
Dalam Hadits lain juga disebutkan bahwa “Allah menciptakan Adam, dalam bentuk diri-Nya.”

Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan.   Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa  dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia.
Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).
3.    Akar Konsep Insan Kamil al-Jilli
Konsep Insan Kamil dengan sangat jelas merupakan perpanjangan dari konstruksi pemikiran dari sebuah penghayatan, yang dikemukakan oleh para sufi cerdas. Hal ini bisa dilihat secara historis dalam literatur pemikiran Islam di sekitar awal abad ke-7 H/13 M, dengan munculnya karya agung Ibn ‘Arabi (w. 638 H/1240 M) al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam.
Walaupun orang pertama yang membuka jalan bagi munculnya konsepsi manusia seutuhnya adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj seorang tokoh sufi Bagdad (244-309 H/858-922 M), dengan mengemukakan konsepsi nur Muhammad dan al-hulul, yaitu konsep yang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh orang tertentu untuk tempatnya setelah sifat-sifat kemanusiaan orang itu dihilangkan. Dengan ajaran hulul itu al-Hallaj mengatakan bahwa di dalam diri Tuhan terdapat sifat-sifat kemanusiaan yang dinamakan nasut, dan dalam manusia terdapat sifat ketuhanan yang dinamakan lasut. Ajaran hulul ini mendapat bentuk yang lebih sempurna setelah datang seorang sufi yang bernama Ibn ‘Arabi, merekonstruksi dan mengembangkan ajaran hulul al-Hallaj menjadi wahdatul al-wujud. Contoh kecil dari perubahan itu adalah perubahan istilah lahut al-Hallaj dia tukar dengan sitilah al-haq  dan nasut  dia tukar dengan al-khalq.
Dan keduanya ini mempunyai hakikat yang satu, dimana yang dzahirnya adalah al-khalaq (makhluk), dan yang bathinnya adalah al-haq (Tuhan). Al-haq ini akan ber-tajjali pada al-khalq yang paling tinggi citra wujudnya, dan kesempurnaan tajjali ini akan terwujud pada manusia yang paling sempurna citra wujudnya. Selanjutnya istilah insan kamil ini digunakan oleh seorang sufi besar dengan nama Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jilli (767-826 H/1365-1422), untuk mengidentifikasi konsepsinya mengenai manusia sempurna.
Dan sebetulnya konsepsi al-Jilli, mengenai Insan Kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus konsep Ibn ‘Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan mensistematisasi konsep insan kamil Ibn ‘Arabi yang telah ada dengan pengembangan yang lebih jauh mengenai konsep insan kamil Ibn ‘Arabi.
Selain paham di atas, ada lagi yang berpendapat bahwa konsep manusia sempurna ini berasal dari paham Neo-Platonisme, hal ini diperjelas oleh Rasyidi sebagai berikut:
“Hakekat Muhammad atau Nur Muhammad adalah suatu hasil dari meresapnya Neo-Platonisme. Menurut paham Neo-Platonisme ada tiga hal: pertama, The One atau The God atau The First Principle; kedua, The Devine Mind atau nous; dan yang ketiga, adalah soul. Dari yang pertama memancarlah yang kedua, yang merupakan the world of form (alam misal), dan dari alam misal memancarlah alam materi ini. Hubungan antara alam materi dan the devine mind dinamakan soul. Pancaran dari Tuhan tanpa ada kehendak dari Tuhan, dan hal ini terjadi secara otomatis”.
Menurut konsepsi Nur Muhammad ini Tuhan menciptakan Nur Muhammad, baru setelah itu segala yang diciptakan memancar dari yang Esa. Jika dibandingkan dengan teori Neo-Platonisme Tuhan menancar yang disebut logos. Logos dengan kekuatannya memancar roh yang merupakan kesatuan roh-roh. Sejalan logos dalam Neo-Platonisme dan Nur Muhammad sama berfungsinya sebagai perantara dalam penciptaan.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insane kamil. Lebih lanjut, Al-Jilli mengemukakan bahwa pwrumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insane kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan sebaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat :
Artinya:
“sesugguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab: 72)


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2004.
Ichang , Insan Kamil ‘Abd al Karim al Jilli,  available: ichang.org, diakses tanggal 2 Juni 2009.
Mansur, Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Mustofa, Akhlak Tasawuf.Bandung : CV Pustaka Setia, 2007.

Monday 3 March 2014

Makalah Landasan BKI


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
         Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan Yang Maha Esa paling sempurna diantara makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna karena manusia mempunyai akal pikiran, sehingga manusia dapat menggunakan akal pikirannya untuk bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dimasyarakat serta mampu berkomitmen dengan nilai-nilai yang ada. Selain memiliki akal pikiran manusia juga memiliki jiwa dan roh yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa dan roh tersebut melekat pada tubuh (raga) manusia.
Beck (1974) mengemukakan pendapat bahwa manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri. Dia punya pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah
         Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa hakikat manusia menurut pandangan BK ? 

BAB II
PEMBAHASAN


A. Hakikat Manusia
         Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan Yang Maha Esa paling sempurna diantara makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dikarenakan manusia mempunyai akal pikiran, sehingga manusia dapat menggunakan akal pikirannya untuk bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dimasyarakat serta mampu berkomitmen dengan nilai-nilai yang ada. Selain memiliki akal pikiran manusia juga memiliki jiwa dan roh yang tidak dapat dipisahkan. Jiwa dan roh tersebut melekat pada tubuh (raga) manusia. Dengan adanya komponen tersebut, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial dan budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.
Karena manusia sebagai makhluk sosial, dari proses sosial maka manusia memperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya. Dapat diklasifikasikan dalam tiga komponen, yaitu:

1. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
2. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui oleh manusia.
3. Komponen konatif adalah aspek yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak

         Disisi lain, manusia selalu identik dengan dirinya sendiri, meskipun mengalami perubahan didalam ukuran dan bentuk, perubahan dalam cara berpikir, merasa, bersikap, cita-cita, perkembangan dalam pergaulan, peranan yang dimainkan dan linkungan sosial. Didalam diri manusia terdapat kesatuan (unitas) dan sekaligus keberagaman (kompleksitas) yang tidak bisa disangkal kebenarannya. 

a. Manusia sebagai Makhluk Tuhan YME
         Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta - adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama didasarkan atas keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta. Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argumen berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (2008), yaitu sebagai berikut:
1) Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”. 
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya, melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan.

b. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Ruh
         Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran Materialisme bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai resonansi dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Sebaliknya, menurut Plato, salah seorang penganut aliran Idealisme, bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/ spiritual/rohaniah. Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Contoh: Pada saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan tidak makan, sekalipun kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).
         Rene Descartes mengemukakan pandangan lain yang secara tegas bersifat dualistik. Menurut Descartes esensi manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa), maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957). Namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristi badaniah, atau sebaliknya. Contoh: apabila jiwa seseorang sedih, maka secara paralel badannya pun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Butler, 1968).
         Semua pandangan di atas dibantah oleh E.F. Schumacher (1980). Menurut Schumacher manusia adalah kesatuan dari yang bersifat badani dan rohani yang secara prinsipal berbeda daripada benda, tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan: “meski manusia merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral”. Sebagai kesatuan badani-rohani manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai kebutuhan, instink, nafsu, serta mempunyai tujuan. Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas/ personalitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historisitas, berinteraksi/berkomunikasi, dan memiliki dinamika.

c. Individualitas/personalitas
         Dari uraian di atas telah Anda pahami bahwa manusia bukan hanya badannya, bukan pula hanya rohnya. Manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya, dst. Dalam kehidupan sehari-hari Anda pun menyaksikan adanya perbedaan pada setiap orang, sehingga masing-masing bersifat unik. Perbedaan ini berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat, hobi, cita-citanya, dsb. Jika Anda bandingkan, manusia kembar siam sekalipun tidak memiliki kesamaan dalam keseluruhannya bukan? Selain itu, karena setiap manusia memiliki subjektivitas (kedirisendirian), maka ia hakikatnya adalah pribadi, ia adalah subjek. Sebagai pribadi atau subjek, setiap manusia bebas mengambil tindakan atas pilihan serta tanggung jawabnya sendiri (otonom) untuk menandaskan keberadaanya di dalam lingkungan. Dengan demikian dapat Anda simpulkan bahwa manusia adalah individu pribadi, artinya manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek yang otonom.

d. Sosialitas
         Sekalipun setiap manusia adalah individual/personal, tetapi ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak mungkin hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan hidup pula dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat), setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu, mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, namun demikian sekaligus ia pun mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987). Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: “manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa “dunia hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu” (Soerjanto P. dan K. Bertens,1983). Sebaliknya terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya.
          Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan tertentukan oleh individu-individu yang membangunnya (Iqbal, 1978). Karena setiap manusia adalah pribadi/individu, dan karena terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya, maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek yang oleh Martin Buber disebut hubungan I – Thou / Aku-Engkau (Maurice S. Friedman, 1954). Selain itu, hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.

e. Keberbudayaan
         Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, yaitu: 1) sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu pengetahuan, nilai-nilai, normanorma, peraturan-peraturan, dsb.; 2) sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, ia hidup berbudaya dan membudaya. Manusia menggunakan kebudayaan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya atau untuk mencapai berbagai tujuannya. Di samping itu kebudayaan menjadi milik manusia, menyatu dengan dirinya, ia hidup sesuai dengan kebudayaannya. Karena itu, kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, melainkan meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaannya. Di dalam kebudayaan dan dengan kebudayaan itu manusia menemukan dan mewujudkan diri. Berkenaan dengan ini Ernst Cassirer menegaskan: “Manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinyanya, seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya, kebudayaannya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia (C.A. Van Peursen, 1988). Dari uraian di atas kiranya Anda telah memahami bahwa kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian perlu dipahami pula bahwa apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkan dan/atau menggunakannya, maka kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Dalam perkembangannya yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis. Berkenaan dengan ini Martin Buber mengemukakan contoh keterhukuman manusia oleh karyanya sendiri: Manusia menciptakan mesin untuk melayani dirinya, tetapi akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Demikian pula dalam bidang ekonomi, semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi akhirnya manusia tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith, 1959).
    Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaruan kebudayaan. Hal ini tentu saja didukung oleh pengaruh kebudayaan masyarakat/bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat tertentu, serta dirangsang pula oleh tantangan yang datang dari lingkungan. Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan negatif dari kebudayaan terhadap manusia, masyarakat kadang-kadang terombang ambing diantara dua relasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (konservatif), sedang yang lain terdorong untuk menciptakan hal-hal baru (inovatif). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan inovasi. Hal ini meliputi semua kehidupan budaya (Ernest Cassirer, 1987).

f. Moralitas
         Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas. Manusia memiliki dimensi moralitas sebab ia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat. Adapun menurut Immanuel Kant disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Contoh: jika Anda meminjam buku milik teman, rasio praktis atau kata hati Anda menyatakan bahwa buku itu wajib dikembalikan. P.A. van der Weij, 1988). Sebagai subjek yang otonom (memiliki kebebasan) manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan/perbuatan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan untuk bertindak/berbuat itu selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih untuk bertindak/berbuat, maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya.

g. Keberagamaan
         Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang), maupun dalam rentang geografis dimana manusia berada. Seperti telah Anda pahami, manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui Utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertaqwa kepadaNya. Dalam keberagamaan ini manusia dapat merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang asal-usulnya, dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan menjadi jelas pula ke mana arah tujuan hidupnya.


h. Historisitas, Komunikasi/Interaksi dan Dinamika
            Berbagai dimensi eksistensi manusia sebagaimana telah diuraikan terdahulu mengimplikasikan bahwa eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, komunikasi/interaksi, dan dinamika.Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan oleh MI. Soelaeman (1985) dan Tatang Syaripudin (2008) dan Y. Suyitno (2008) Historisitas. Eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, artinya bahwa keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, ia mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Historisitas memiliki fungsi dalam eksistensi manusia. Historisitas turut membangun eksistensi manusia.
         Sehubungan dengan ini Karl Jaspers menyatakan: “Manusia harus tahu siapa dia tadinya, untuk menjadi sadar kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa lampaunya yang historis adalah faktor dasar yang tidak dapat dihindarkan bagi masa depannya” (Fuad Hasan, 1973). Manusia telah melampaui masa lalunya, adapun keberdaannya pada saat ini adalah sedang dalam perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Sejak kelahirannya, manusia memang adalah manusia, tetapi ia juga harus terus berjuang untuk hidup sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, ia “belum selesai” menjadi manusia, “belum selesai” mengaktualisasikan diri demi mencapai tujuan hidupnya.
          Tujuan hidup manusia mencakup tiga dimensi, yaitu (1) dimensi ruang (di sini - di sana, dunia - akhirat); (2) dimensi waktu (masa sekarang - masa datang); (3) dimensi nilai (baik - tidak baik) sesuai dengan agama dan budaya yang diakuinya (M.I. Soelaeman, 1988). Adapun esensi tujuan hidup manusia tiada lain untuk mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat, atau untuk mendapatkan ridlo Tuhan YME.
Komunikasi atau Interaksi. Dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, manusia berinteraksi/berkomunikasi. Komunikasi/interaksi ini dilakukannya baik secara vertikal, yaitu dengan Tuhannya; secara horizontal yaitu dengan alam dan sesama manusia serta budayanya; dan bahkan dengan “dirinya sendiri”. Demikianlah interaksi/komunikasi tersebut bersifat multi dimensi.
         Dinamika. N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesama dan dunia) maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Manusia adalah subjek, sebab itu ia dapat mengontrol dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah kesatuan jasmani-rohani (yang mana ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dsb., maka dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya. Terkadang muncul dorongan-dorongan negatif yang bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh negatif dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang muncul kesombongan yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang individualitasnya terlalu dominan atas sosialitasnya, dsb. Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara sengaja dan secara prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan arah yang seharusnya.

i. Eksistensi Manusia adalah untuk Menjadi Manusia
         Seperti telah dikemukakan di atas, manusia memiliki dimensi dinamika, sebab itu eksistensi manusia bersifat dinamis. Bagi manusia bereksistensi berarti meng-ada-kan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat dan menjadi. Permasalahannya, manusia itu bereksistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. Inilah tugas yang diembannya. Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Idealitas (keharusan, cita-cita/harapan) ini bersumber dari Tuhan melalui ajaran agama yang diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri. Coba Anda rumuskan, gambaran manusia ideal menurut Tuhan atau agama yang Anda yakini; manusia ideal menurut masyarakat/bangsa dan budayanya; dan manusia ideal menurut Anda sendiri!
         Manusia ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Hardono. (1996). Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Yusuf L. N, Syamsu dan Nurihsan, A. J (2008). Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT  
Remaja Rosdakarya

Friday 5 August 2011

Amal Ibadah yang Paling Dicintai Allah

Didalam Kitab shohih Bukhari terdapat hadits yang berbunyi:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra : Rasulullah Saw pernah bersabda, “perbuatan yang engkau lakukan tidak akan menyelamatkan engkau dari api neraka”, mereka berkata, “bahkan engkau sendiri ya Rasulullah?” Nabi Muhammad Saw bersabda, “bahkan aku sendiri, kecuali Allah melindungiku dengan kasih dan rahmatNya. Oleh karena itu lakukanlah perbuatan baik sepatut mungkin, setulus mungkin, sedapat mungkin dan beribadahlah kepada Allah pada pagi dan sore hari, pada sebagian dari malam hari dan bersikaplah al-qashd (mengambil pertengahan dan melaksanakannnya secara tetap) karena dengan cara itulah kamu akan mencapai (surga)”.


Diriwayatkan dari Aisyah ra : seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “apakah amal (ibadah) yang paling dicintai Allah?” Nabi Muhammad Saw bersabda,” amal (ibadah) yang dilakukan secara tetap meskipun sedikit”

HADITS KEDUA BELAS

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

[حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]


Terjemah hadits :

Dari Abu Hurairah radhiallahunhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya .

(Hadits Hasan riwayat Turmuzi dan lainnya)


Pelajaran:

1. Termasuk sifat-sifat orang muslim adalah dia menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang mulia serta menjauhkan perkara yang hina dan rendah.

2. Pendidikan bagi diri dan perawatannya dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat didalamnya.

3. Menyibukkkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah kesia-siaan dan merupakan pertanda kelemahan iman.

4. Anjuran untuk memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang manfaatnya kembali kepada diri sendiri bagi dunia maupun akhirat.

5. Ikut campur terhadap sesuatu yang bukan urusannya dapat mengakibatkan kepada perpecahan dan pertikaian diantara manusia.

Wednesday 3 August 2011

HADITS KESEPULUH

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى : ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً - وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ - ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ .

[رواه مسلم]


Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya : Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah. Dan Dia berfirman : Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata : Yaa Robbku, Ya Robbku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.

(Riwayat Muslim).


Pelajaran :

1. Dalam hadits diatas terdapat pelajaran akan sucinya Allah ta’ala dari segala kekurangan dan cela.

2. Allah ta’ala tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Maka siapa yang bersedekah dengan barang haram tidak akan diterima.

3. Sesuatu yang disebut baik adalah apa yang dinilai baik disisi Allah ta’ala.

4. Berlarut-larut dalam perbuatan haram akan menghalangi seseorang dari terkabulnya doa.

5. Orang yang maksiat tidak termasuk mereka yang dikabulkan doanya kecuali mereka yang Allah kehendaki.

6. Makan barang haram dapat merusak amal dan menjadi penghalang diterimanya amal perbuatan.

7. Anjuran untuk berinfaq dari barang yang halal dan larangan untuk berinfaq dari sesuatu yang haram.

8. Seorang hamba akan diberi ganjaran jika memakan sesuatu yang baik dengan maksud agar dirinya diberi kekuatan untuk ta’at kepada Allah.

9. Doa orang yang sedang safar dan yang hatinya sangat mengharap akan terkabul.

10. Dalam hadits terdapat sebagian dari sebab-sebab dikabulkannya do’a : Perjalanan jauh, kondisi yang bersahaja dalam pakaian dan penampilan dalam keadaan kumal dan berdebu, mengangkat kedua tangan ke langit, meratap dalam berdoa, keinginan kuat dalam permintaan, mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang halal.